بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم
Naaaaah,, Aya posting di sini aja yaaa... ^_^ Ini bagus loh buat dipelajari. Hayuk kita belajar sama-sama. Walau memang Aya belum sekalipun ikut event mayor. ^_^
#JapanInLove adalah sebuah lomba mengarang cerpen
berlatar Jepang yang digelar hanya 10 hari (tanggal 20-30 Maret 2013) oleh DIVA
Press. Saya sendiri menjadi jurinya. Berdua dengan penyair Mas Toan Achmad Muchlis Amrin, si ahli puasa
Daud, suami Nyai Zizi, ayah gus Fawa. Tahu berapa naskah cerpen yang
harus saya seleksi? Lebih dari 700 cerpen!
Saya menilai dan memutuskan cerpen yang “layak terbit”
hanya dalam 9 hari! Gimana cara menjurinya? Jangan-jangan....aiihhh...trektekdungcess...
(sorry, saya menulis analisis cerpen ini sambil dengerin lagu dangdut
koplo Tak Tunggu
Balimu di-repeat permanen!)
Oke, tentu subyektivitas ada. Iya dong, saya kan masih
hidup, berpikir, berempati, niscaya saya nggak bakal pernah bisa memisahkan
diri dari subyektivitas. Tetapi, saya sengaja menulis anlsisis cerpen ini
supaya jadi pengetahuan buat semua peserta lomba-lomba DIVA Press yang telah
dan atau akan diadakan bagaimana cara saya melakukan penilaian.
Maafkanlah
wahai sayangku...terpaksa meninggalkanmu...hookk hookk
Aku
tak membenci dirimu dan melepaskan cintamu...
Kau
tahu diriku kutahu dirimu... #jare sopo...traktakdesss...
#Enakbangetsumpahkoplonya!
Oke, lanjut!
Bayangkan, membaca 700-an cerpen dalam 9 hari? Saya
melakukannya dengan cara saya sendiri!
Pertama, setiap cerpen yang pada paragraf
pertamanya saja sudah amburadul teknik, kalimat pembuka, bertele-tele, typo seabrek, tanpa ampun saya buang! Nggak
perlu lagi deh baca ke halaman kedua, apalagi sampai habis, hanya buang-buang
waktu. Penulis yang ginian pastilah kemampuan tekniknya masih rendah atau tipe
penulis yang abai terhadap detail dan tidak membaca ulang karyanya! Yang ginian
nggak bakal jadi penulis keren!
Kedua, cerpen-cerpen yang berhasil lolos
halaman pertama, saya lanjutkan baca. Jika saya menemukan keganjilan teknik
atau logika cerita, saya toleransi sehalaman lagi. Jika tidak berhasil dijawab keganjilan
itu, saya buat pesawat-pesawatan kertas dong! Mengapa cuma sehalaman? Bisa saja
kan jawabannya ada di halaman sekian? Oke, ini cerpen, cerpen, cerpennnnn atuuhh, yang terbatas
halamannya, bukan novel!
Ketiga, yang berhasil lolos seleksi awal ini,
saya cermati kekuatan logika ceritanya. Betapa seabrek yang nggak penting benar
menjadikan alur tabrakan-tabrakan sebagai logika cerita ketemuan cowok dan
cewek. Hadeehh, kalau benar di alam nyata ini gara-gara tabrakan orang lalu
mudah dapat pacar, pastilah para jomblo akurat yang anyep seanyep-anyepnya sejak lahir itu sudah menabrakkan diri
dari lama kali. Jika pengen dapat pacar bermobil, tentu cukup menabrakkan diri
pada mobil dong! Jika pengen dapat suami sopir truk molen kayak cita-cita
@AvifahVe, ya cukup menabrakkan diri ke trukj molen to.
Keempat, saya cermati “kekuatan latarnya”.
Bagaimana pun, tema lomba ini adalah #JapanInLove, tentu bau Jepangnya harus
kerasa tengik banget kan. Bukan cuma sok beraroma Jepang. Ini sekaligus
membedakan antara penulis yang doyan menggali data dan tidak. Yang mikir
tentang Sakura dan Hanami seabrek, otomatis kompetisinya sangat keras. Kenapa
nggak mikir yang lain, yang juga Jepang, kayak Teru-Teru Bozu Rafandha ini? Unik, segar! Atau,
kenapa juga nggak mikir untuk menuliskan ide Miwon, Ajinomoto, Rinso, Kroto
gitu sih?
Begitulah saya menilai dengan cepat. Pasti, metode saya debatablesecara ilmiah,
tapi saya sih asyik-asyik aja atuh, bodoh teuing atuh mah,
toh saya yang jadi jurinya kan. At
least, saya punya metode tertentu, dan inilah hasilnya!
Mengapa Teru-Teru Bozu Kupilih sebagai yang
Terbaik?
Opo
wes tego sliramu
Misahke roso tresno…
#Asyiiikkk…trak-trak…
Beberapa “kecerdasan
penulis” dalam cerpen Teru-Teru Bozu Rafandha yang saya catatkan di sini:
Pertama, pilihan idenya genius! Saat orang
berpikir bahwa Jepang adalah tentang Sakura, Hanami, Tokyo, Kyoto, salju,
Kagawa, Miyabi (hoo...oohhh), Rafandha sangat genius memilih Teru-Teru Bozu (boneka penangkal hujan menurut
kepercayaan masyarakat Jepang, yang bila dipasang terbalik, dipercaya dapat menurunkan hujan).
Nggak pasaran! Nggak expired!
Unik, segar, nyeleneh, no mainstream,
dan itulah memang ciri penulis cerdas!
Kedua, kalimat pembukanya sangat tidak
bertele-tele, sok puisiwanisme J,
tetapi langsung menohok, menusuk, menghunjam, menjleb, menerjang, menghantam,
menerkam, mengiris, menginternalisasi,mengintercourse rasa penasaran pembacanya.
Simak ini:
“Itu…
teru-teru bozu, kan?”
“Ya.”
“Kenapa dipasang terbalik?”
“Biar hujan.”
Sangat menggoda rasa
ingin tahu! Bandingkan dengan kalimat pembuka kajol sejenis gini:
Vivi,
my honey, ahhhhh…
Betapa
matahari adalah pusat cahaya yang begitu agung bernama matahari. Begitu pun
cintaku padamu yang menyimpan matahari agung di dalamnya, sedalam kusimpan
rahasia hidupku bahwa aku adalah tukang tukar sandal di masjid setiap shalat
Jum’at….
Opo
iki, opo iki, ikiii opoooooo!!! Cerpen kok ngene iki, opo iki opo ikiiii…. #gemes!
Ketiga, kekuatan setting Jepang yang sangat lebur. Fusion of horizons(istilah tokoh Hermeneutika
Filosofis Hans-Georg Gadamer) antara Rafandha selaku penulis yang orang
Palembang (kutahu kok Bim, kamu tinggal di desa pula!J), yang Jakarta aja kagak
pernah tahu, apalagi Jepang, dengan penggalian data kultur Jepang yang serius
menghasilkan “kawinan” yang benar-benar beranaktaste Jepang!
Keempat, alur cerita begitu mengalir
sedemikian enaknya untuk dicicip oleh siapa pun pembacanya, dengan latar
pengetahuan macam apa pun. Anak SD pasti juga paham baca cerpen ini. Apalagi
anak tua yang kelakuannya masih bocah SD, kayak @DenmasTono @DebbyNiken
@rezanufa @srangga2 @RiriAlie @endikooeswoyo, pasti pahaammmm!
Jangan membayangkan
bahwa alur ceritanya lantas begitu landai sehingga enak banget dibaca. Tidak!
Kekuatan utama cerpen ini justru bukan ada di situ, tapi bagaimana Rafandha
menyelipkan suspensi-suspensi yang mengejutkan, layaknya keperkasaan VR46
melipat Pedrosa dan Marquez di Losail Qatar kemarin (coba kalau Lorenzo nggak
penakut lari duluan gitu, pasti dilibas juga dia atuh). Liat Lorenzo ngacir sejak
pertama, apa coba gregetnya? Garing! Tapi coba lihat Rossi yang penuh suspense, subhanallah atuh kan gregetnya, passion-nya, gaharnya di dada! Ya, itulah
beda Rossi ma yang lainatuh…
Kejutan, sentakan,
begitu tubi hadir di antara aliran cerita yang lancar. Dan tentu, untuk bisa
melakukan ini, diperlukan kekuatan teknik, kematangan ide, dan pembacaan
berulang-ulang untuk memperdalam ide dan mengoreksi kelemahan-kelamahan. So, nggak bosen-bosen kan saya selalu ngomong (jikangeyel tentu perlu pake terapi diacuhin
deh) bahwa SANGAT PENTING untuk mendinginkan dulu karyamu, mendiamkan dulu
beberapa jenak, lalu membaca ulang dan ulang lagi karyamu. Jangan gragas begitu jadi main send and send, wah itu pasti banyak boroknya!
Simak ini:
Gadis
itu sepertinya sudah selesai melakukan tugasnya. Ia langsung saja berlari kecil
menjauhiku.
Aku
menatap boneka teru-teru bozu yang dipasangnya di pohon itu.
Boneka
itu…
Memasang
ekspresi sedih.
Lalu:
“Karena...karena
hanya setelah hujan aku bisa bahagia,” ujarnya pelan.
Aku
melihat matanya berkaca-kaca. Seperti akan ada air yang jatuh dari sudut
matanya.
“Maksudmu?”
“Aku
harus pergi.” Ia bangkit dari tempatnya duduk, lalu
langsung pergi.
Lagi-lagi,
aku berujar dalam hati, apa yang membuatnya demikian?
Kelima, pesan moral. Tentu, subyektivitas
penulis menghasratkan penyampaian pesan moral dalam karya, termasuk dalam Teru-Teru
Bozu ini. Pesan
moral apa pun silakan, itu subyektif. Tapi yang penting, penulis tidak perlu
menjadi ustadz dalam karyanya, jadi juru khutbah. Dan Teru-Teru Bozu berhasil melakukannya dengan sangat
piawai. Tanpa sadar, begitu smooth,
pembaca terasuki oleh pesan moral Rafandha, dan di sinilah bedanya karya fiksi
dengan non-fiksi. Sebuah karya fiksi yang tidak hanya mengusung kisah, tapi
juga inspirasi yang smooth dan bermanfaat bagi pembacanya.
Keenam, pemecahan konflik. Yang menarik
lagi dari Teru-Teru Bozu ini ialah alur adegan saat si “aku”
memecahkan masalah utama (konflik tokoh) si gadis itu dengan cara yang sangat
alamiah, logis, kreatif. Di akhir analisis ini, saya sertakan cerpen utuhnya
untuk Anda baca sebagai pembuktinya.
Ketujuh, kecerdasan ending. Teru-Teru
Bozu begitu hebat
dalam mengakhiri ceritanya. Benar, dikisahkan juga si tokoh ini saling jatuh
cinta. Tapi tidak disajikan dengan klise dan pasaran.
Itulah hasil analisis
saya, boleh setuju boleh tidak: kuharap dirimu mengerti diriku tak mungkin kita terus
begini…traktakdesss…
Kekurangan cerpen Teru-Teru
Bozu Rafandha sudah
saya emailkan langsung ke penulisnya. Itu pun hanya menurut saya ya.
Berikut kutipan lengkap cerpen Teru-Teru Bozu Rafandha:
Teru-Teru Bozu
Rafandha
“Itu… teru-teru bozu, kan?”
“Ya.”
“Kenapa dipasang terbalik?”
“Biar hujan.”
***
Komaba-Todaime,
Meguro, Tokyo
Fuyu, 35oC
Aku mengayuh sepedaku secepat angin ke
Komabano Park. Udara musim panas di Tokyo sangat menyengat hari ini. Di saat
orang Jepang yang lainnya berbondong-bondong menuju pantai, aku lebih memilih
ke sungai Meguro di Komabano Park.
Komabano Park sendiri jadi tempat magis bagiku. Pertama
kali aku ke Tokyo, hal yang menggelitikku adalah gerbang taman ini. Gerbang
Komabano Park terdiri atas dua bagian. Sebelah kanan dan kiri. Di gerbang
sebelah kanan,dibuat
bentuk padi-padi yang sedang berkembang dan burung-burung yang beterbangan.
Sedangkan sisi sebelah kirinya, padi-padi tersebut masih ada, namun terdapat kakashi yang berdiri tegak. Jadi bila
digabungkan, gerbang itu seperti replika sawah.
Komabano Park tampak lengang dan aku pun mempercepat langkah. Suasana
Komabano Park tak ubahnya sebuah taman tanpa rimbun pepohonan. Pohon-pohon
sakura sudah gugur sejak akhir musim semi lalu.
Lama aku mengayuh sepeda. Aku tertarik pada satu sosok yang
tampak sedang berusaha meraih cabang pohon Sakura di pinggir Sungai Meguro. Penasaran, aku
menghampirinya.
“Itu… teru-teru
bozu, kan?” aku bertanya ketika melihat satu boneka
putih di kepalan tangannya yang mungil.
Dia menoleh menghadapku sekilas, lalu
kembali ke posisinya semula.
Aku mendadak diam melihat apa yang dilakukannya. Tali
yang menggantung di teru-teru bozu itu berada pada posisi tidak biasa.
“Kenapa dipasang terbalik?” tanyaku heran setelah
memastikan apa yang aku lihat itu benar.
“Biar hujan,” jawabnya pendek.
Aku mengerenyitkan dahi, menatap gadis di hadapanku yang
sedang menggantungkan boneka berkepala gundul itu di sebuah pohon sakura di
Komabano Park. Setahuku,
orang-orang Jepang sangat membenci hujan. Sama sepertiku. Kebanyakan
orang-orang Jepang mengutuk butir-butir air itu.
“Kau suka hujan?” aku bertanya
heran.
Gadis itu menggeleng. “Iie,” ujarnya
sambil berusaha mengikatkan simpul pada pohon itu.
Aku hanya mengamati parasnya. Yang paling membuatku
terkesan adalah potongan rambutnya yang dibuat pendek model bob dengan poni yang lurus menutupi
keningnya dan pipinya yang membuatku gemas setengah mati:seperti mochi.
“Jadi?”
Gadis itu sepertinya sudah selesai melakukan tugasnya. Ia
langsung saja berlari kecil menjauhiku.
Aku menatap boneka teru-teru
bozu yang
dipasangnya di pohon itu.
Boneka itu…
Memasang
ekspresi sedih.
***
“Masih memasang itu?”
Aku melihat gadis itu pada hari berikutnya. Ia memakai kimono musim panas atau yukata berwarna merah muda, berdiri
di depan pohon sakura yang sudah meranggas. Kemarin, hari sangat cerah, bahkan
cenderung panas. Jadi dapat disimpulkan, teru-teru
bozu-nya tidak berhasil kemarin.
“Seperti yang kau lihat,”
ujarnya sambil mengangkat bahu.
Aku lantas mendekat padanya, membantunya mengaitkan
boneka itu ke pohon. “Tsuyu baru
saja berakhir dua minggu lalu di Tokyo. Dan, kau pikir hujan akan turun?”
Ia melirikku sekilas. “Apa salahnya berharap?” ia berkata santai.
“Memang sih. Tapi, harapan kadang membuatmu buta. Tidak
berpikir realistis,” sanggahku menjawab pertanyaan darinya.
Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir mungilnya. Aku
pun tidak berusaha untuk membuka percakapan.
“Arigatō gozaimasu,” ucapnya
sambil membungkuk.
Aku tersenyum kecil. “Dō itashimashite.”
Dia kemudian duduk di rerumputan. Aku pun mengikutinya.
“Buat apa melakukan ini?” aku bertanya sambil mengerenyitkan
dahi.
Dia menoleh menatapku. Rambutnya melayang dengan sempurna
diterpa embusan angin.
“Melakukan apa?” tanyanya balik sambil mengerlingkan
matanya.
“Kau bilang
tidak suka hujan, mengapa kau malah ingin hujan turun?”
Sungguh aneh konsep yang ada di kepalaku. Bagaimana bisa
orang yang tidak menyukai sesuatu, tapi mengharuskan sesuatu itu hadir.
Ia menengadahkan kepalanya ke atas. Seperti memikirkan
sesuatu.
“Karena...karena hanya setelah hujan aku bisa bahagia,”
ujarnya pelan.
Aku melihat matanya berkaca-kaca. Seperti akan ada air
yang jatuh dari sudut matanya.
“Maksudmu?”
“Aku harus pergi.” Ia bangkit dari tempatnya duduk, lalu
langsung pergi.
Lagi-lagi, aku
berujar dalam hati, apa yang
membuatnya demikian?
***
Hari ini, hujan turun rintik-rintik.
Aku mengamati butir-butir air itu dari balik jendela
kamarku. Aku tidak suka hujan. Hujan melambatkan semua hal, termasuk waktu. Aku
akhirnya lebih memilih mengambil game portabel dari lemari sambil menyetel lagu AKB
48–Gomen-ne Summer.
Hari ini, hujan turun rintik-rintik.
Mendadak aroma hujan mengingatkanku pada gadis itu.
Pastilah saat ini ia sedang tersenyum bahagia melihat teru-teru bozu-nya
berhasil. Atau,mungkin
saat ini ia sedang menari-nari di bawah hujan? Ataukah ia lebih memilih
meringkuk di kasur, mengenakan selimut tebal, lalu memainkan game portabel sepertiku?
Pikiran-pikiranku tentangnya membayang seiring turunnya
hujan. Yang jelas, pastilah ia sedang bahagia sekarang.
Tunggu, mengapa aku
memikirkan gadis itu?
***
Rasa penasaran membawaku kembali ke Komabano Park
keesokan harinya. Entah mengapa aku mengharapkan sosok gadis itu datang.
Dan sesuai perkiraanku, gadis itu memang ada. Di tempat
yang sama dua hari lalu.
“Mengapa datang lagi?” tanyaku heran. Kemarin hujan,
seharusnya ia tidak datang ke sini lagi untuk memasangkan boneka itu.
“Kemarin, tidak ada dia,” ujarnya tanpa ekspresi. Ia
hanya memandang lurus ke depan.
“Dia?”
“Hai.”
Aku semakin tidak mengerti. Dia? Siapa dia? Mendadak, ada
yang meledak-ledak di ulu hatiku. Namun entah. Aku tidak bisa
mendeskripsikannya.
“Maksudmu?” aku bertanya
lagi. Penasaran.
Pernah merasakan ketika kau bertanya sesuatu dan kau
mengharapkan jawaban darinya, sementara di sisi lainnya kau malah
tidak ingin mendengarnya?
Aku sukar mengatakannya. Tapi yang jelas, begitu keadaanku saat ini.
“Niji ga arimasen.”
“Eh?”
“Kemarin, tidak ada pelangi.”
Aku merasakan ledakan-ledakan tadi langsung diguyur air
es dingin.
“Kau..., selama ini...hanya pelangi?” Aku
berusaha menenangkan perasaanku sendiri.
“Ya, pelangi.”
“Hanya pelangi? Kau mengharapkan sesuatu yang sama sekali
tidak kau suka hanya untuk melihat pelangi?”
Dia menatapku tajam.
“Jangan
kau pikir segalanya semudah yang kau bayangkan,” bentaknya keras.
Ia mulai bangkit dari tempat kami duduk, lalu
beranjak pergi. Aku pun langsung
menahannya.
“Kenapa?” tanyaku pelan, merasa bersalah.
Aku membalikkan badannya.
Ia...menangis?
“Gomen nasai,” ucapku.
Ia menyapu air mata dari pipinya. “Daijōbu desu.”
“Kau tahu, perempuan itu adalah orang yang paling susah
dalam menyembunyikan perasaannya. Dan jika kau berkata kau baik-baik saja, aku
tidak melihatnya demikian.” Aku
menarik napas panjang. “Kau...kenapa?” tanyaku hati-hati.
Aku mengajaknya kembali duduk. Namun saat ini, kepalanya
menyandar di pundakku.
“Okaa-san bilang,
pelangi adalah jalan menuju surga,” ia membuka ceritanya, “saat kau tidak ada
lagi di dunia ini, kau akan menjelma jadi satu dari warna pelangi itu.”
Aku mengangguk paham. Aku pernah dengar tentang mitos itu
dari ibuku ketika aku kecil.
“Okaa-san bilang,
kita bisa menemui orang-orang yang tidak ada itu saat datang pelangi. Dan itu
yang sedang aku lakukan sekarang. Aku...sedang berusaha bertemu Okaa-san.”
“Dia?”
“Meninggal, dua minggu lalu. Saat tsuyu. Hujan-hujan. Ia...tertabrak truk.”
Aku bisa melihat air mata yang jatuh dari sudut matanya.
Refleks, aku
menyekanya dengan tangan kananku.
“Maka dari itu..., aku selalu ingin bertemu dengannya
lagi. Aku...hanya ingin melihatnya lagi,” ujarnya sesengukkan.
Aku mendekapnya erat, tidak bisa berkata apa-apa. Dalam
diam, aku berbicara.
“Menangislah. Buat apa berpura-pura kuat? Menangislah
karena memang kau ingin menangis. Itu akan membuatmu lebih baik,” aku berujar
sambil mengusap-usap kepalanya.
Dan, ia
menangis.
Dan, itu
adalah nyanyian paling pilu dalam hidupku.
***
Pompa angin dan kaca.
Aku memasukkan barang-barang itu ke dalam tas selempang
yang kukenakan, lalu
mengayuh sepeda ke Komabano Park.
Dia pasti masih di sana.
Pasti.
***
“Sudah kuduga, kau akan datang kembali ke sini,” aku
berujar ketika melihat gadis itu.
Tidak ada yang berubah darinya. Masih tanpa ekspresi.
Masih tanpa senyum. Masih...sedih.
“Ayo ikut aku sebentar.” Aku menarik tangannya ke sisi Sungai Meguro.
Sensasi dingin langsung menyambar ke kaki kami berdua
ketika aliran sungai memecah di kaki.
“Duduk di sini,” perintahku sambil menunjuk satu tempat
di pinggir sungai itu.
Kukeluarkan alat-alat yang sedari tadi ada di tas
selempangku. Pompa air dan kaca.
Aku menaruh kaca di sisi lain sungai. Sinar matahari langsung
terpantul mengikuti aliran sungai. Yang kedua, aku ambil pompa angin dari tasku
lalu mulai mengisinya dengan air Sungai Meguro.
Semoga berhasil, aku berdoa dalam hati sambil
mengarahkan pompa itu ke sinar matahari yang dipantulkan oleh kaca.
Gadis itu menatapku heran, namun aku tidak peduli.
“Kau tahu, aku pernah merasakan kehilangan. Ayahku,
beberapa tahun lalu. Aku memang sedih, sungguh. Seolah-olah semua jadi hancur
berantakan. Sama sepertimu.”
Aku kemudian menyemburkan air dari pompa yang ada.
Butir-butir air itu langsung saja menimpa sinar matahari, membentuk
spektrum-spektrum warna-warni: pelangi.
Ia tampak terkejut dengan apa yang aku lakukan. Aku bisa
melihat ia sesenggukan dengan mata yang berkaca-kaca.
“Aku hanya ingin kau tahu, kebahagiaan itu diciptakan.
Bukan menunggu dengan sendirinya. Kebahagiaan itu ada dalam diri setiap orang.
Bukan bergantung pada hal lainnya,” jelasku panjang lebar.
“Kini, kau tidak perlu menunggu hujan terlebih dahulu,
baru kau bisa melihatnya. Kau tidak perlu lagi berpura-pura menunggu hal yang
sama sekali tidak kau sukai untuk melihat hal yang kau suka. Kau hanya perlu
terbuka, untuk melihat sekelilingmu. Melihat kebahagiaan di sekitarmu.”
“Dan, jika kau sudah bisa melakukan itu, kau akan
bahagia,” tutupku.
Aku melihat ia menunduk. Dan perlahan, air
mata turun dari pipinya.
Kami berdua membisu. Aku pun menghampirinya.
“Arigatō gozaimasu. Terima kasih sudah membuatku sadar,”
ujarnya sambil mengusap air mata di pipinya. Ia kemudian menegakkan kepalanya, lalu
tersenyum.
Melihat itu, aku ikut tersenyum. Dadaku mendadak bergetar
hebat. Ada perasaan seolah-olah ketika melihat senyumannya, semua hal indah di
dunia ini kalah akan kehadirannya. Keindahan yang melebihi seribu pohon sakura
yang bermekaran serentak.
“Siapa namamu?” tanyaku gugup. Entah apa yang aku
gugupkan. Aku hanya merasa...
...gugup.
“Mit...Mitsuko Ka..Katone,” ia menjawab terbatas-bata.
Seketika mukanya bersemu merah seperti buah plum.
Aku tertawa geli melihatnya seperti itu. “Aku tahu
mengapa kau tidak suka hujan,” ucapku padanya.
“Katamu pertama kali, semua orang Jepang membenci hujan,”
ujarnya yang mulai berani menatapku.
“Berbeda kasus denganmu. Mitsuko berarti cerah. Kau pasti benci hujan,”aku berkata
sambil tersenyum lebar.
“Dan...memang benar…. Suaramu sangat indah seperti kotone. Alunan harpa,” lanjutku.
Ia tampak salah tingkah aku puji seperti itu. Aku bahkan
heran sendiri, dari mana kata-kata
itu keluar. Mengapa
aku mendadak romantis? Tunggu,romantis?
“Namamu?” tanyanya balik kepadaku.
“Hisashi Masaki.”
“Cocok.”
“Eh?”
“Kau memang seperti kayu besar. Tempat semua orang
bersandar.” Ia mengerlingkan matanya yang bulat dan teduh itu.
Kali ini, giliranku yang salah tingkah. Untuk
mengisi kekosongan, aku mengambil teru-teru
bozu itu dari
tangannya. Ia tampak heran dengan apa yang aku lakukan, namun ia biarkan.
Aku mengambil spidol dari tas selempang yang kubawa, lalu
kucoretkan sebuah lengkung ke atas di bawah gambar hidung yang dibuatnya.
Ia mengerenyitkan dahi. Heran. Namun, aku tetap tidak peduli.
Setelah selesai, aku pun lantas menggantungkannya pada pohon
sakura di belakang kami.
“Aku harap besok cerah,” kataku pelan.
Ia tampaknya mendengar apa yang aku ucapkan, lalu
tersenyum kecil.
Semoga tidak ada lagi hujan di matanya, aku merapalkan
harapan-harapanku.
Setelah memasangkannya ke atas pohon, aku berbalik
menatap Mitsuko-san, lalu
menggenggam tangannya.
“Mitsuko-san, besok, maukah kau berkencan denganku?”
*) Cerpen ini sebenarnya memiliki
beberapa footnote, tapi tidak saya sertakan.
Posted by Edi Akhiles at 11:30 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Trims ya sudah berkenan ninggalin jejak di Memories of My Life .n_n.